Oleh: Dr. H. Hamim Pou, S.Kom., M.H.
![]() |
Dr. H. Hamim Pou, S.Kom., M.H. Gambar : Google Image |
Hari itu, senyumnya berbeda. “Akhirnya saya punya gaji tetap, Pak. Anak saya bisa daftar kuliah tanpa ragu,” katanya, sambil menggenggam erat SK PPPK yang baru diterimanya. Ia tahu, kertas itu bukan sekadar stempel birokrasi, melainkan simbol transisi dari cemas menuju tenang — dari pengabdian tanpa kepastian menjadi kerja yang diakui negara.
Cerita serupa datang dari Gorontalo Utara. Di Desa Titidu, Pak Ismail — usianya telah melewati setengah abad — menarik napas panjang setelah puluhan tahun menjadi tenaga honor di puskesmas. Ia menjemput tabung oksigen di malam hari, mengantar pasien dengan sabar, lalu pulang hanya dengan sisa uang bensin di saku. Kini ia resmi menjadi PPPK.
“Saya tahu hak pensiunnya tidak seperti PNS,” ujarnya, “tapi martabat itu kembali. Saya bisa menabung, anak saya bisa lanjut sekolah, dan tiap tanggal 17 saya berdiri di apel dengan seragam Korpri yang sama.”
Dua kisah ini hanyalah potret kecil dari ribuan wajah di Gorontalo yang hari ini akhirnya diakui sebagai Aparatur Sipil Negara dalam skema Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK). Status ini mungkin tidak memberikan semua hak sebagaimana PNS, namun memberi sesuatu yang lebih dalam: pengakuan atas martabat dan pengabdian.
Di balik angka, regulasi, dan perdebatan soal tunjangan, PPPK menghadirkan kembali hal mendasar dalam dunia kerja publik — rasa dihargai. Karena sejatinya, yang membuat seseorang bertahan dalam pengabdian bukan hanya gaji, melainkan keyakinan bahwa jerih payahnya diakui negara.
Kita semua tahu, menjadi ASN bukan sekadar soal seragam atau SK. Ia adalah janji untuk melayani, sekaligus harapan akan hidup yang lebih pasti. Kepastian bahwa uang sekolah anak tidak lagi bergantung pada pinjaman, bahwa dapur tetap berasap tanpa harus menunggu honor lembur, dan bahwa pengabdian di pelosok negeri tidak lagi dipandang sebelah mata.
Namun dalam kebahagiaan ini, kita juga tidak boleh lupa pada mereka yang belum berhasil. Di banyak sekolah, puskesmas, dan kantor desa, masih ada guru, perawat, serta staf administrasi yang menunggu giliran. Untuk mereka, semoga harapan tidak padam. Negara harus terus membuka ruang, memperbaiki sistem, dan memastikan setiap pengabdian menemukan jalannya menuju pengakuan.
Menjadi PPPK bukanlah akhir dari perjalanan, melainkan awal dari tanggung jawab baru. Masyarakat menaruh harapan besar: agar para ASN baru ini menghadirkan pelayanan publik yang lebih manusiawi — bukan sekadar rajin absen, tetapi hadir dengan hati yang tulus dan jiwa pengabdian.
Selamat kepada seluruh sahabat yang kini resmi menjadi PPPK di Bone Bolango dan seluruh kabupaten/kota se-Provinsi Gorontalo. Semoga status baru ini membawa ketenangan, membuka peluang bagi anak-anak untuk bermimpi lebih tinggi, dan memperkuat semangat pelayanan publik yang berkeadilan.
Dan besok, saat apel Senin pagi dimulai, kenakanlah seragam Korpri itu dengan bangga. Sebab di balik setiap lipatannya, tersimpan kisah panjang pengabdian — dari Uabanga hingga Titidu — tentang orang-orang yang tetap setia bekerja, bahkan ketika pengakuan belum datang.
Posting Komentar untuk "Dari Uabanga ke Titidu: Haru dan Pelajaran dari PPPK Kita Hari Ini"