![]() |
Ilustrasi gambar. Bersumber dari chatgpt |
Lalu muncul sindiran tajam di media sosial: “Pinjam sebanyak-banyaknya, jangan dibayar, biar pinjol bangkrut!”
Bagi sebagian orang, itu bukan sekadar candaan, melainkan teriakan frustrasi dari rakyat kecil yang merasa ditipu oleh sistem keuangan digital yang tak adil.
Jeratan yang Diciptakan Sistem
Pinjol sering kali menyasar kelompok rentan: pekerja informal, ibu rumah tangga, mahasiswa, hingga buruh harian. Mereka tak punya akses ke perbankan formal, tapi punya kebutuhan mendesak. Maka datanglah pinjol—menawarkan “solusi cepat” yang pada akhirnya justru menyeret mereka ke lingkaran utang tanpa akhir.
Ironisnya, banyak pinjol ilegal beroperasi tanpa izin, namun tetap bisa menembus ponsel rakyat. Penagihnya menggunakan ancaman, intimidasi, bahkan penyebaran data pribadi. Pertanyaannya: di mana negara?
Negara Harus Menagih Keadilan, Bukan Rakyat yang Dikejar-kejar Utang
Ajakan “jangan bayar pinjol” tentu salah secara hukum, tapi ada makna yang lebih dalam: rakyat sudah muak. Mereka tak lagi percaya pada sistem pengawasan keuangan yang seharusnya melindungi mereka. Ketika lembaga resmi lambat bertindak, rakyat mencari cara protes — walau dengan bahasa yang ekstrem.
Karena itu, solusi sesungguhnya bukan membiarkan orang gagal bayar, tapi memastikan pinjol ilegal benar-benar diberantas, dan pinjol legal wajib tunduk pada etika perlindungan konsumen.
Keadilan Finansial: Jalan Keluar Sesungguhnya
Daripada mendorong rakyat untuk memberontak lewat utang, lebih baik negara membangun sistem keuangan yang inklusif:
-
Akses kredit mikro tanpa bunga mencekik melalui koperasi, BUMDes, atau lembaga keuangan syariah.
-
Pendidikan literasi keuangan agar rakyat tahu mana pinjol legal dan mana jebakan.
-
Penegakan hukum yang tegas terhadap pinjol ilegal, termasuk pihak yang mendanai dan menutup mata.
Karena sejatinya, rakyat tidak ingin menipu. Mereka hanya ingin keadilan ekonomi, bukan jebakan digital yang merampas harapan.
Penutup
Ajakan “jangan bayar pinjol” bukan solusi, tapi jeritan perlawanan sosial. Jika negara mendengarnya, semoga jeritan itu berubah menjadi kebijakan yang berpihak pada rakyat kecil. Bukan lagi rakyat yang dikejar-kejar, tapi ketidakadilan yang akhirnya ditagih untuk membayar lunas utangnya kepada bangsa ini.
Posting Komentar untuk "Jangan Bayar Pinjol? Atau Negara yang Harus “Menagih” Keadilan untuk Rakyatnya"