![]() |
| Pernikahan di Bawah Umur dan Kehamilan di Luar Nikah: Antara Norma, Hukum, dan Solusi Sosial. Gambar Ilustrasi : Chatgpt |
Negara menegaskan bahwa anak di bawah umur belum layak untuk menikah karena alasan psikologis, fisik, dan hukum. Namun, tekanan sosial dan budaya sering kali membuat keluarga memilih “jalan pintas” dengan menikahkan anak mereka, tanpa memahami konsekuensi hukum dan sosial yang muncul setelahnya.
Perspektif Hukum dan Agama
Secara hukum, Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 yang merevisi UU Perkawinan menyebutkan:
“Perkawinan hanya diizinkan apabila pria dan wanita sudah mencapai umur 19 (sembilan belas) tahun.”
(Pasal 7 ayat (1) UU 16/2019)
Jika usia belum memenuhi syarat tersebut, maka orang tua dapat mengajukan dispensasi nikah ke pengadilan agama dengan alasan sangat mendesak dan bukti pendukung. Hal ini ditegaskan pada Pasal 7 ayat (2):
“Dalam hal terjadi penyimpangan terhadap ketentuan umur sebagaimana dimaksud pada ayat (1), orang tua pihak pria dan/atau orang tua pihak wanita dapat meminta dispensasi kepada Pengadilan…”
(UU 16/2019)
Pertimbangan revisi undang-undang ini pun jelas:
“Perkawinan pada usia anak menimbulkan dampak negatif bagi tumbuh kembang anak dan akan menyebabkan tidak terpenuhinya hak dasar anak seperti hak atas perlindungan, hak kesehatan, dan hak pendidikan.”
(Mahkamah Syar’iyah Sigli)
Dari sisi agama, pernikahan memang sah jika memenuhi rukun dan syarat, namun negara menekankan legalitas administratif. Kantor Urusan Agama (KUA) tidak dapat menikahkan pasangan di bawah umur tanpa surat dispensasi pengadilan. Jika tetap dilaksanakan secara siri, maka status hukum pernikahan dan anak yang lahir menjadi tidak tercatat secara resmi, menimbulkan kerentanan hukum bagi ibu dan anak.
Data Terkini: Angka yang Masih Mengkhawatirkan
Menurut Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA), angka perkawinan anak memang mengalami penurunan, dari sekitar 10,35 % (2021) menjadi 9,23 % (2022), dan turun lagi menjadi 6,92 % pada 2023. Penurunan ini melampaui target Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN).
(Sumber: kemenpppa.go.id)
Namun, penurunan angka nasional tidak meniadakan fakta bahwa di daerah tertentu kasus masih tinggi. Di Kabupaten Lombok Barat, misalnya, tercatat 233 anak menikah pada tahun 2023–2024, menurut laporan Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI). KPAI juga mencatat bahwa dalam delapan tahun terakhir terdapat 95 pengaduan kasus anak korban perkawinan di bawah umur yang diterima secara resmi.
(Sumber: kpai.go.id)
Lebih jauh lagi, selama masa pandemi, pengadilan agama di seluruh Indonesia menerima sekitar 34 000 permohonan dispensasi nikah, sebagian besar terkait pernikahan anak akibat kehamilan di luar nikah.
(Sumber: DPR RI – Pusat Kajian P3DI, 2021)
Data ini menunjukkan bahwa meskipun regulasi sudah diperketat, tekanan sosial, kemiskinan, dan minimnya edukasi seksual masih menjadi pemicu utama pernikahan dini.
Keterlibatan Pemerintah Desa dan Komisi Perlindungan Anak
Pemerintah desa sering menjadi pihak pertama yang mengetahui kasus kehamilan di luar nikah. Dalam banyak kasus, kepala desa diminta masyarakat untuk “menyelesaikan” persoalan dengan jalan pernikahan. Namun, seharusnya pemerintah desa tidak hanya berperan sebagai fasilitator pernikahan, tetapi juga sebagai garda terdepan perlindungan anak.
Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) memiliki peran strategis dalam memastikan setiap keputusan terkait anak mempertimbangkan kepentingan terbaik bagi anak. Artinya, menikahkan anak di bawah umur bukanlah solusi tunggal, apalagi jika dilakukan karena tekanan sosial atau rasa malu keluarga.
Keterlibatan KUA juga penting untuk memastikan setiap proses perkawinan berjalan sesuai hukum, sementara pihak kepolisian harus menindak jika ditemukan unsur paksaan, kekerasan, atau hubungan seksual tanpa persetujuan. Dalam hukum pidana, hubungan dengan anak di bawah umur dapat dikategorikan sebagai tindak pidana kekerasan seksual, meskipun dilakukan dengan suka sama suka.
Solusi Sosial: Menyelamatkan, Bukan Menghukum
Fenomena ini tidak dapat diselesaikan hanya dengan menegakkan hukum. Diperlukan pendekatan sosial, edukatif, dan keagamaan yang terintegrasi. Beberapa langkah solutif yang bisa dilakukan adalah:
-
Edukasi seks dan kesehatan reproduksi sejak dini di sekolah dan keluarga.
-
Pendampingan psikologis dan hukum bagi remaja dan keluarga oleh pemerintah daerah serta lembaga sosial.
-
Koordinasi lintas lembaga antara pemerintah desa, KUA, KPAI, dan kepolisian agar penyelesaian kasus tidak berhenti pada “menikahkan”, tapi juga melindungi anak.
-
Selektivitas pemberian dispensasi nikah oleh pengadilan agama, dengan menilai kematangan emosional, kesiapan ekonomi, dan faktor kesehatan.
-
Pemberdayaan ekonomi keluarga dan peningkatan literasi pendidikan sebagai langkah pencegahan jangka panjang.
Penutup: Menyelamatkan Masa Depan, Bukan Sekadar Nama Baik
Pernikahan di bawah umur dan kehamilan di luar nikah bukan hanya persoalan moralitas, tetapi menyangkut masa depan generasi muda. Negara, masyarakat, dan keluarga harus bersinergi agar solusi yang diambil tidak berhenti pada “penyelamatan nama baik”, melainkan “penyelamatan masa depan”.
Sejatinya, menikahkan anak di bawah umur bukan solusi, melainkan bentuk lain dari hilangnya masa kanak-kanak yang seharusnya mereka nikmati. Maka, setiap kebijakan dan tindakan sosial harus berpihak pada kepentingan terbaik bagi anak, bukan pada tekanan sosial atau rasa malu keluarga.

Posting Komentar untuk "Pernikahan di Bawah Umur dan Kehamilan di Luar Nikah: Antara Norma, Hukum, dan Solusi Sosial"