![]() |
| Pertambangan Rakyat, Ikustrasi Gambar : Chatgpt |
Warisan Kearifan Lokal yang Tak Diakui Negara
Sejak dahulu, masyarakat di banyak daerah menggantungkan hidupnya pada tambang tradisional. Mereka menambang menggunakan alat sederhana, tanpa bahan kimia berbahaya, dan mengandalkan kebersamaan komunitas. Kegiatan itu bukan hanya ekonomi, tetapi juga sosial—sebuah bentuk gotong royong yang diwariskan lintas generasi.
Namun, ketika Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (UU Minerba) diberlakukan, banyak tambang rakyat yang tiba-tiba berubah status menjadi “ilegal”. Padahal, masyarakat tidak menambang untuk merusak lingkungan, melainkan untuk bertahan hidup. Inilah titik benturan antara kearifan lokal dan regulasi negara.
Hukum yang Belum Menyentuh Realitas Lapangan
Secara hukum, kegiatan pertambangan rakyat seharusnya dapat dilakukan melalui Wilayah Pertambangan Rakyat (WPR) yang ditetapkan oleh pemerintah daerah dengan persetujuan Kementerian ESDM. Sayangnya, implementasi aturan ini di lapangan jauh dari ideal. Banyak daerah yang belum menetapkan WPR secara resmi, sehingga masyarakat tidak memiliki dasar hukum untuk bekerja.
Akibatnya, penambang rakyat sering kali dituduh melakukan kegiatan “tanpa izin” atau illegal mining. Ironisnya, aparat penegak hukum pun seringkali hanya fokus pada penindakan, bukan pembinaan. Padahal, semangat hukum seharusnya bukan sekadar menghukum, tetapi juga mengayomi.
Perspektif Keadilan dalam Penegakan Hukum
Pertambangan rakyat menghadirkan dilema klasik: di satu sisi, negara wajib menegakkan aturan; di sisi lain, masyarakat berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak. Prinsip keadilan substantif seharusnya menjadi dasar dalam penegakan hukum pertambangan rakyat.
Menurut prinsip hukum pidana, actus non facit reum nisi mens sit rea — seseorang tidak dapat dianggap bersalah kecuali ada niat jahat. Dalam konteks ini, masyarakat yang menambang karena kebutuhan ekonomi tanpa niat merusak lingkungan seharusnya tidak serta-merta dipidana.
Keadilan hukum juga menuntut adanya keberpihakan terhadap rakyat kecil. Penegakan hukum yang hanya tajam ke bawah dan tumpul ke atas justru memperlebar kesenjangan sosial. Ketika perusahaan besar menambang dengan izin luas namun tetap menimbulkan kerusakan lingkungan, rakyat kecil justru dikejar hanya karena tidak memiliki dokumen resmi.
Kebutuhan Reformasi Regulasi
Masalah utama bukan pada masyarakat penambang, melainkan pada sistem perizinan yang rumit dan tidak adaptif. Pemerintah seharusnya lebih progresif dengan memberikan kemudahan perizinan bagi kelompok tambang rakyat.
Beberapa solusi yang bisa diterapkan antara lain:
-
Simplifikasi izin WPR – Pemerintah daerah dapat memetakan wilayah tambang tradisional dan menetapkannya sebagai WPR tanpa proses birokrasi berbelit.
-
Pendampingan hukum dan teknis – Kementerian ESDM bersama perguruan tinggi bisa membantu masyarakat memahami aspek hukum dan teknik tambang ramah lingkungan.
-
Koperasi tambang rakyat – Pembentukan koperasi tambang akan mempermudah pengelolaan izin, distribusi hasil, dan tanggung jawab lingkungan.
Dengan langkah-langkah ini, tambang rakyat bisa menjadi bagian resmi dari sistem ekonomi nasional tanpa harus berhadapan dengan hukum.
Antara Regulasi dan Rasa Keadilan
Dalam praktiknya, regulasi pertambangan sering kali lebih berpihak pada korporasi besar. Hal ini terlihat dari luasnya konsesi izin tambang swasta, sementara ruang bagi tambang rakyat sangat sempit. Pemerintah perlu menyeimbangkan kepentingan antara investasi besar dan ekonomi rakyat kecil.
Keadilan tidak hanya diukur dari kepatuhan terhadap aturan, tetapi juga dari seberapa jauh aturan itu mencerminkan rasa kemanusiaan. Hukum yang baik bukan hanya yang tertulis di atas kertas, melainkan yang hidup di tengah masyarakat (living law).
Jika hukum gagal memahami kebutuhan rakyat, maka rakyat akan kehilangan kepercayaan terhadap hukum. Dan ketika hukum tidak dipercaya, negara pun kehilangan wibawanya.
Menuju Harmonisasi Hukum dan Kearifan Lokal
Sudah saatnya paradigma hukum pertambangan di Indonesia bergeser dari pendekatan represif menjadi kolaboratif. Negara harus hadir sebagai fasilitator, bukan sekadar pengawas. Mengakui tambang rakyat bukan berarti membiarkan pelanggaran, tetapi mengakui realitas sosial dan memberikan jalan hukum yang manusiawi.
Pertambangan rakyat bisa menjadi model pembangunan ekonomi berbasis komunitas yang berkelanjutan. Dengan pengawasan yang baik, edukasi lingkungan, dan izin yang sederhana, masyarakat bisa menambang dengan aman dan legal.
Penutup
Pertambangan rakyat di mata hukum adalah cermin dari wajah keadilan negara. Apakah hukum mampu menjadi pelindung bagi rakyat kecil, atau justru menjadi alat penindasan yang membungkam kearifan lokal?
Reformasi hukum pertambangan bukan hanya tentang pasal dan izin, tetapi tentang keberpihakan. Negara yang adil adalah negara yang memberi ruang bagi rakyatnya untuk hidup dengan martabat, bahkan ketika mereka hanya menambang dengan sekop dan cangkul di tangan.
Sumber Informasi : Dilansir dan dianalisis dari berbagai sumber hukum nasional dan pengalaman lapangan penambang rakyat di Indonesia.

Posting Komentar untuk "Pertambangan Rakyat di Mata Hukum: Antara Kearifan Lokal dan Regulasi Negara"