![]() |
Pembatalan 192 peserta PPPK TTU oleh Bupati Falentinus Kebo dinilai bentuk arogansi birokrasi dan pelecehan terhadap sistem merit ASN. Gambar ilustrasi - chatgpt |
BLOGNATEYA.COM - Kasus pembatalan kelulusan 192 peserta seleksi PPPK di Kabupaten Timor Tengah Utara (TTU) menyingkap persoalan mendasar dalam tata kelola birokrasi daerah: lemahnya akuntabilitas dan masih kuatnya praktik kekuasaan yang sewenang-wenang.
Keputusan Bupati TTU, Falentinus Kebo, untuk membatalkan hasil seleksi yang telah disahkan Badan Kepegawaian Negara (BKN) bukan hanya menyalahi prosedur administratif, tetapi juga mengkhianati prinsip keadilan dan meritokrasi yang menjadi roh dari sistem rekrutmen Aparatur Sipil Negara (ASN).
Rapat Dengar Pendapat Komisi I DPRD TTU yang digelar 24 Oktober 2025 memperlihatkan fakta terang: seluruh proses seleksi PPPK telah dijalankan sesuai regulasi nasional. Dari Peraturan Menteri PAN-RB Nomor 6 Tahun 2024 hingga keputusan-keputusan turunannya, semua tahapan verifikasi dan pemberkasan telah terpenuhi. Tidak ada indikasi pelanggaran atau manipulasi.
Lebih jauh, proses pemberkasan bahkan sudah sampai pada tahap pengusulan Nomor Induk PPPK ke BKN — sebuah tanda bahwa peserta benar-benar lulus sah menurut sistem nasional. Namun, ironisnya, di titik akhir, pemerintah daerah justru membatalkan kelulusan dengan alasan yang tidak berdasar: surat pengalaman kerja peserta tidak ditandatangani bupati.
Padahal, regulasi jelas menyebut surat pengalaman kerja cukup diterbitkan oleh pimpinan unit kerja — kepala sekolah, kepala puskesmas, atau direktur rumah sakit. Tidak ada kewajiban untuk mendapat tanda tangan kepala daerah. Maka, alasan pembatalan ini tidak hanya lemah secara hukum, tetapi juga menunjukkan adanya tafsir kekuasaan yang menyalahi prinsip administrasi negara.
Anggota DPRD TTU menilai tindakan ini sebagai bentuk “arogansi birokrasi”. Bupati dianggap bertindak di luar batas kewenangannya dan mencederai hak 192 tenaga non-ASN yang telah lama mengabdi di berbagai sektor pelayanan publik. Bagi mereka, keputusan ini bukan sekadar hilangnya peluang kerja, tetapi juga hilangnya kepercayaan terhadap negara yang seharusnya hadir menjamin keadilan.
Langkah DPRD yang berencana mengirim surat rekomendasi resmi kepada bupati adalah bentuk kontrol politik yang patut diapresiasi. Namun, pengawasan tidak boleh berhenti di situ. Pemerintah pusat — terutama Kementerian PAN-RB dan BKN — harus turun tangan memastikan keabsahan hasil seleksi dan menegakkan aturan yang sudah baku.
Jika setiap kepala daerah dapat dengan mudah membatalkan hasil seleksi nasional hanya berdasarkan alasan sepihak, maka prinsip meritokrasi dalam rekrutmen ASN akan runtuh. Negara akan kembali pada masa ketika loyalitas politik lebih penting daripada kompetensi.
Kasus TTU seharusnya menjadi momentum introspeksi nasional. Pemerintah daerah bukanlah “penguasa kecil” yang bebas menafsir aturan, melainkan bagian dari sistem pemerintahan yang tunduk pada regulasi nasional. Ketika kepala daerah mulai menafsir hukum berdasarkan selera politik, maka keadilan publik menjadi korban pertama.
192 peserta PPPK TTU mungkin hanyalah angka di atas kertas, tetapi di balik angka itu ada ratusan keluarga yang menggantungkan harapan pada janji negara: bahwa kerja keras dan pengabdian akan berbuah kepastian. Jika janji itu diingkari, maka yang runtuh bukan sekadar karier, tetapi juga martabat birokrasi itu sendiri.
(Opini ini disusun berdasarkan informasi yang dilansir dari media online ntthits.com)

Posting Komentar untuk "PPPK TTU: Saat Kekuasaan Mengalahkan Hukum dan Akuntabilitas Publik"