Tradisi pengukuhan pemimpin di Gorontalo bukan hanya bersandar pada hukum agama dan negara, tetapi juga dilandasi nilai adat dan spiritualitas lokal yang disebut Mo’odelo — pedoman moral bagi setiap pemimpin negeri.
Oleh: Kamarudin A. Tohopi, SH
" Kades Tumbuh Mekar Sekaligus Tokoh Adat Bone Pesisir Bone Bolango - Alumni Universitas Nahdlatul Ulama Gorontalo "
![]() |
|
Kearifan Lokal yang Menuntun Kepemimpinan
Gorontalo dikenal bukan hanya karena keindahan alamnya, tetapi juga karena kearifan lokal yang masih dijaga hingga kini. Salah satu nilai luhur yang menjadi pedoman dalam sistem kepemimpinan masyarakat Gorontalo adalah Mo’odelo — yakni sifat dan perilaku seorang pemimpin yang mencerminkan kehormatan, kebijaksanaan, dan tanggung jawab terhadap rakyat serta adat.
Dalam tradisi Gorontalo, seorang pemimpin sebelum memangku jabatan — baik sebagai Gubernur, Bupati, Walikota, Camat, maupun pejabat lainnya — tidak hanya disumpah berdasarkan aturan agama dan negara, tetapi juga melalui sumpah adat. Hal ini sejalan dengan falsafah hidup masyarakat Gorontalo yang sangat terkenal:
“Adat bersendikan Syara’, Syara’ bersendikan Kitabullah”
(Adati hulo-hulo’a to syara’a, syara’a hulo-hulo’a to Kitabi).
Makna Mo’odelo dalam Kepemimpinan Gorontalo
Seorang pemimpin dalam pandangan adat Gorontalo disebut sebagai Khalifah, yang diharapkan mampu menjaga keseimbangan antara adat, agama, dan nilai kemanusiaan. Dalam menjalankan tugasnya, pemimpin tersebut berpedoman pada lima unsur utama yang dikenal dengan PADUMA, yaitu:
-
Adati – aturan adat yang menjadi dasar moral dan etika.
-
Wuudu – pembenaran dan kesesuaian perilaku dengan nilai adat, termasuk dalam berpakaian dan bertutur.
-
Tinepo – penghormatan terhadap sesama, terutama kepada rakyat dan sesama pemimpin.
-
Tombulao – teguran keras sebagai bentuk pengingat bila terjadi penyimpangan.
-
Buto’o – sanksi adat bagi pelanggaran moral atau etika adat.
Melalui PADUMA, seorang pemimpin dituntut agar menyatukan kauli (perkataan), qolibi (hati), dan pii’li (perilaku) — sehingga apa yang diucapkan sejalan dengan hati nurani dan diwujudkan dalam tindakan nyata.
Upacara Pengukuhan dan Sumpah Adat
Sebelum seorang pemimpin resmi menjabat, ia akan dinobatkan dan dikukuhkan oleh para pemangku adat yang tergabung dalam Buwatulo Towulongo, yaitu tiga rangkai pemimpin adat yang berperan dalam pelaksanaan upacara adat. Dalam prosesi itu terdapat tiga tokoh adat utama:
-
Mopobonelo – yang menyandarkan dan mengukuhkan kedudukan,
-
Molahuli – yang memberikan nasihat dan peringatan,
-
Tahuli – yang berpesan dan mengingatkan dengan penuh makna.
Sumpah adat diiringi dengan tuja’i, yakni syair-syair adat yang penuh makna spiritual dan moral. Syair tersebut mengandung pesan agar seorang pemimpin memiliki pendengaran yang tajam, penglihatan yang jernih, dan hati yang tulus dalam memimpin rakyatnya.
“Ta’o podungohu moluyito – pendengaran yang runcing,
Ta’o pomilohu modidipo – penglihatan yang membidik,
Ta’o hilawo molalito – hati yang tulus.”
Syair ini menggambarkan karakter ideal pemimpin Gorontalo: tegas, adil, dan berhati bersih.
Tiga Kalimat Suci dalam Sumpah Adat
Dalam prosesi sumpah adat, pemimpin mengucapkan tiga kalimat suci — Wallahi, Billahi, dan Tallahi — masing-masing diulang tiga kali.
-
Wallahi melambangkan kesaksian dan tekad untuk menjaga keutuhan negeri.
-
Billahi bermakna menyimpan nilai adat dan syariat dalam nurani.
-
Tallahi menegaskan janji untuk menjunjung tinggi agama, adat, dan martabat bangsa.
Sumpah ini bukan sekadar simbol, tetapi juga ikrar tanggung jawab spiritual dan moral terhadap masyarakat dan Tuhan.
Pesan dan Wasiat Adat (Tahuli)
Prosesi adat ditutup dengan Tahuli, yaitu pesan moral bagi pemimpin baru agar senantiasa menjaga keharmonisan negeri dan menghindari kekerasan dalam kepemimpinan. Pesan adat ini mengingatkan bahwa seorang pemimpin harus lembut dalam bertutur, bijak dalam bertindak, dan tegas dalam prinsip.
“Poo lumboyota moloiya – bertuturlah dengan lembut,
Alihu ito otabiya – agar akan disegani,
Lo Tuango lipu botiya – oleh penduduk negeri ini.”
Makna Filosofis dan Harapan
Tuja’i dan paduma bukan sekadar tradisi seremonial, tetapi merupakan sistem nilai yang membentuk karakter kepemimpinan Gorontalo. Ia mengajarkan agar pemimpin tidak mengikuti hawa nafsu, menjaga kehormatan negeri, serta memimpin dengan keseimbangan antara adat dan syariat.
Nilai-nilai Mo’odelo mengajak masyarakat untuk bergandeng tangan dalam membangun daerah, menolak provokasi, dan menumbuhkan semangat persaudaraan. Dengan semangat “Hulondalo to Duluwo Limo Lo Pohalaa”, masyarakat Gorontalo diharapkan tetap bersatu menuju negeri yang “Baldatun Thayyibatun wa Rabbun Ghafur.”
Penutup
Tradisi Mo’odelo bukan hanya warisan budaya, tetapi juga cermin filosofi kepemimpinan Islam dan Nusantara yang berpadu dalam harmoni. Di tengah perubahan zaman, nilai-nilai ini tetap relevan — mengingatkan bahwa seorang pemimpin sejati bukan hanya menguasai rakyat, tetapi juga mengabdi kepada kebenaran, keadilan, dan kemanusiaan.
“Openu demo puti tulalo, bodila moputih baya.”
(Biarlah tulang yang memutih, asal tidak menanggung malu.)
Semoga nilai Mo’odelo terus menjadi cahaya bagi para pemimpin Gorontalo, untuk membangun negeri yang beradab, bermartabat, dan dirahmati Allah SWT.
Wassalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh.

Posting Komentar untuk "Mo’odelo: Nilai Kepemimpinan Adat Gorontalo yang Menyatukan Adat, Syara’, dan Kitabullah"